Televisi adalah gambar yang paling kompleks pada media ruparungu dwimatra dinamis (moving audiovisual media), bahasa rupa inilah yang dianggap paling pesat perkembangannya. Tabrani (1992) melihat bahwa dari segi sejarah memang bahasa rupa lainnya banyak mengacu pada bahasa film dan televisi. Bahasa rupa foto (gambar statis) tumbuh sangat perlahan dan segera terkejar, dilanda oleh bahasa rupa film kemudian muncul televisi (gambar dinamis). Gambar dinamis inilah yang pesat sekali merambah ke seluruh dunia.
Tidak dapat dipungkiri peran televisi saat ini semakin besar saja. Peranannya sebagai media komunikasi visual sangat luar biasa dibandingkan media-masa yang lain. Temuan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia tahun 1996 yang dilansir majalah aikon! media alternatif menyebutkan bahwa kekuatan besar televisi yang tidak pernah dibayangkan oleh Paul Nipkow sekalipun ketika dia mematenkan Jantra Nipkow yang menjadi cikal-bakal televisi mekanis; temuan itu memaparkan bahwa anak-anak Indonesia (usia 6-15 tahun) “harus menyisihkan” waktu 22-26 jam per minggu untuk menonton televisi. Bahkan anak Amerika sejak usia delapan belas bulan sudah secara mendalam dikonfrontasikan pada medium televisi. Pada akhir humaniora-nya jumlah jam menonton televisi dari anak-anak muda Amerika mencapai 16.000 jam. Ketika usia mencapai 20 tahun secara total hampir mencapai juta reclamesport atau mencapai rata-rata 1000 per pekan (Tondowidjojo1999:57).
Televisi mengkomunikasikan pesan-pesannya dengan cara yang sangat sederhana. Sifat televisi yang demikian, disebut sebagai penyampaian pesan sepintas atau transitory. Karena itulah maka pesanpun harus mudah dipahami dalam sekilas dan dengan jenjang konsentrasi yang tidak setinggi membaca. Pesan-pesan yang harus bersifat begitu sederhana itu, dengan idiom-idiom gambar yang sangat universal sehingga tayangan untuk orang dewasa pun dengan dipahami anak-anak. Pesan-pesan yang disampaikan secara audio (bahasa tutur) berentang kosakata sangat terbatas menyebabkan interaksi televisi dengan pemirsa dianggap selesai segera setelah informasi lewat tanpa dapat direvisi, diverifikasi apalagi dievaluasi.
Munculnya televisi menghadirkan suatu revolusi dimana manusia dihadapkan pada jaman komunikasi visual pada layar televisi. Revolusi pertama komunikasi massa berangkat dalam abad ke lima sebelum Kristus, yakni ketika terjadi transisi dari budaya lisan ke budaya tulis di Athena. Yang kedua bertolak di Eropa dalam abad ke lima belas ketika muncul mesin cetak Gutenberg, yang merupakan suatu revolusi dalam komunikasi massa. Revolusi ketiga adalah apa yang dikenal sebagai penemuan dan penyebaran informasi melalui televise sebagai intinya. Perkembangan ini membuat televisi dikenal sebagai The Second God (Tondowidjojo 1999:57). Dan orang-orang Belanda mem-pleset-kan singkatan TV menjadi Tweede-Vrouw (istri kedua).
Kesederhanaan bentuk dan cara penyampaian pesan inilah yang menjadi sumber ketakutan banyak orang. Mereka percaya bahwa di balik kepiawaian televisi untuk menghibur, mengintip berbagai hal negatif (terutama anak-anak). Televisi demikian membuai sehingga memimpikan manusia dan membiarkan manusia larut dalam gambar-gambar televisi. Pemirsa televisi menaruh kesan secara langsung pada peristiwa-peristiwa dunia secara intensif serta ikut menghayatinya. Medium televisi memberikan kesadaran bahwa manusia mencapai kebahagiaan hidupnya melalui televisi.
Fungsi televisi:
1. To inform(menyebarkan informasi)
2. To entertain(menghibur)
3. To educate(mendidik)
4. To influence(mempengaruhi)
B. TINJAUAN TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI SECARA MAKRO VERTIKAL
Berbicara mengenai sistem komunikasi di Indonesia, berarti berbicara mengenai sistem masyarakat Indonesia, berbicara tentang manusia Indonesia. Karena 120
itu pendekatannya seyogyanya dilakukan secara makro dan secara mikro, baik dalam prosesnya secara vertikal maupun secara horizontal, secara mikro menyangkut sistem nilai kelompok. Secara makro menyangkut strategi komunikasi, secara mikro menyangkut operasi komunikasi.
Bahwa pengaruh sistem pemerintahan besar sekali terhadap sistem komunikasi, jelas dialami oleh orang-orang Indonesia yang telah mengalami hidup dalam tiga zaman, yaitu zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman kemerdekaan.
"Communication always involves at least one message, transmitted by a source, via a medium, to a receiver, within a situational context." Demikian kata Herbert W. simons dalam bukunya, Persuasion, Understanding, Practice, and Analysis.
Adalah konteks situational yang terutama membedakan sistem komunikasi antara zaman penjajahan dan zaman kemerdekaan. Secara makro tidak pernah terjadi antara penguasa pada zaman Belanda, baik ratu di Nederland maupun gubernur jenderal di Batavia, dengan rakyat Indonesia secara langsung. Demikian pula zaman penjajahan Jepang. Jauh berbeda dengan sekarang; pada masa ini bukanlah hal yang luar biasa apabila presiden Indonesia berbicara langsung dengan rakyat. Kalaupun pada zaman penjajahan Belanda itu sesekali ada kesempatan berkomunikasi, maka komunikasinya itu talk the people, bukannya talk with the people seperti yang terjadi di alam kemerdekaan antara pemimpin dengan rakyat. Ini disebabkan karena pesan yang disampaikan oleh komunikator penjajah tidak merupakan kepentingan yang sama dengan rakyat Indonesia pada waktu itu. Ini berbeda dengan situasi komunikasi dalam alam kemerdekaan. Dalam alam kemerdekaan, para pemimpin Indonesia berkomunikasi dengan rakyat Indonesia mengenai kepentingan yang sama.
Akibatnya dari sistem pemerintahan pada zaman penjajahan itu, komunikasi horizontal antara rakyat dengan rakyat, dan secara mikro individu dengan individu dalam suatu lingkungan keluarga atau lingkungan kekerabatan, berbeda jika dibandingkan dengan alam kemerdekaan kini. Pada waktu itu ruang lingkup komunikasi sedemikian sempitnya sehingga pesan yang dikomunikasikan berkisar pada urusan pribadi yang sangat elementer. Dewasa ini, kemerdekaan dan kebebasan memberikan keleluasaan kepada pemuda-pemudi untuk mengenyam pendidikan di perguruanperguruan tinggi dan memperoleh kedudukan setinggi-tingginya di masyarakat serta keleluasaan berinteraksi akibat tinginya mobilitas penduduk, maka komunikasi antara individu dalam suatu lingkungan keluarga atau kerabat menjadi luas, sampai membicarakan perihal yang bersifat nasional atau interpersonal.
Dalam perkembangan berikutnya di alam kemerdekaartinir ,sistem komurrikasi.dlludonesia mempunyalciri yang mandiri dalam ruang lingkup makro vertikal; komunikasi di Indonesia berlangsungstojapiramidal dengan menggunakan media massa seperti pers, film, radio, clan Jelevisi.
Media massa elektronik di Indonesia dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah
sehingga Para komunikator pusat leluasa dalam segala permasalahan mulai dari peraturan waktu pemilihan pesan, penetapan metode penyajian ampei kepada penentuan biaya. Strategi komuikasi secara nasional melalui media massa tersebut dikoordinasikan oleh departemen penerangan sebagai lembaga tetinggi pemerintah untuk bidang komunikasi ini.
Mengingat rumitnya, komunikasi secara makro vertikal itu, maka peninjauan akan dibatasi pada pengaruh televisi terhadap media Massa lainnya yaitu pers, film, dan radio.
Adalah melalui pers, radio, televisi, para komunikator pusat dapat berkornunikasi secara cepat, serempak dan serentak kepada masyarakat. Dibanding dengan negara-negara lain, bahkan dengan negara-negara yang sudah maju pun, Indonesia tidak begitu ketinggalan dalam hal penggunaan media massa ini ditinjau dari eksistensinya. Pers sudah ada di Indonesia sejak tahun 1744, dan sejak tahun 1908 membawakan pesan-pesan nasional (Medan Prijaji).
Siaran radio sudah ada di bumi Indonesia ini sejak tahun 1925, hanya dua tahun'saja setelah Amerika Serikat dan tiga tahun sesudah Inggris. Lalu sejak tahun 1937 berhasil membawakan pesan-pesan nasional, yaitu yang diselenggarakan oleh Perikatan Perkumpulan Radio Katimoeran (PPRK). Film pun sudah ada sejak tahun 1926, hanya saja lebih banyak bersifat hiburan daripada penerangan. Baru sesudah tahun 1945, tepatnya tanggal 6 Oktober 1946, gedung-gedung bioskop di Indonesia menyajikan film yang mengandung pesan-pesan nasional (Berita Film Indonesia).
Jadi sejak zaman penjajahan, ketiga media massa, yakni pers, film, dan radio sudah dikenal oleh masyarakat dan telah memasyarakat. Yang perlu dipertanyakan kini, sejauh mana pengaruh media televisi yang Baru muncul di Indonesia tahun 1962 itu, terhadap ketiga media massa lainnya itu.
1. Pengaruh Televisi
Pengaruh televisi terhadap sistem komunikasi tidak lepas dari pengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan pada umumnya. Bahwa televisi menimbulkan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat indonesia, sudah banyak yang mengetahui dan merasakannya. Tetapi sejauh mana pengaruh yang positif dan sejauh mana pengaruh yang negatif, belum diketahi banyak. Di indonesia meskipun tidak sebanyak negara-negara yang sudah maju, penelitian telah dilakukan, baik oleh departemen penerangan sebagai lembaga yang paling berkompeten, maupun oleh perguruan-perguruan tinggi.
Menurut Prof. Dr. R. Mar'at dare Unpad, acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi, dan perasaan para penonton. ini adalah hal yang wajar. Jadi, bila ada hal-hal yang mengakibatkan penonton terharu terpesona„atay latah, bukanlah sesuatu yang,istimewa, sebab salah satu pengaruh psikologis dari televisi seakan akan menghipnotis penonton, sehingga mereka seolah-olah hanyut dalam keterlibatan pada kisah atau peristiwa yang dihidangkan televisi
Adalah kelatahan, atau barangkali lebih tepat dikatakan peniruan, yang seringkali dipermasalahkan, yakni peniruan yang negatif, kenyataan televisi tidak selalu menimbulkan pengaruh peniruan negatif, tidak jarang juga yangp positif .Yang menjadi persoalan sekarang, bagaimana kita harus menggalakkan peniruan yang positif dan mencegah peniruan yang negatif.
Dr. jack Lyle, Direktur Institut Komunikasi, suatu bagian dari East West Centre, Honolulu, Hawaii, ketika memberikan ceramahnya di LIPI, Jakarta, antara lain mengatakan, bahwa televisi bertindak sebagai agent of displacement. Dijelaskannya bahwa di Amerika Serikat televisi menggantikan kebiasaan menonton bioskop. Tetapi di desa Indonesia, di mana tidak ada bioskop, pergantian seperti itu tidak tepat. Masalahnya sekarang apa yang di-displace di Indonesia? Demikian Lyle
Persoalan displacement yang diketengahkan oleh Dr. Jack Lyle tersebut mula-mula ditampilkan oleh Himmelweit, Oppenheim, dan Vince dalam bukunya, Television and the Child, yang mereka namakan secara lengkap Displacement Effects, meliputi tiga asas sebagai basil studinya yang sistematis di Inggris.
Asas yang pertama ialah bahwa kesamaan fungsional (fungtional similarity) sesuai dengan apa yang oleh seorang anak akan dikorbankan: kegiatan yang memuaskan kebutuhan yang sama seperti televisi. Dengan lain perkataan, apabila suatu kebutuhan dipuaskan, balk oleh televisi maupun oleh kegiatan lainnya, maka yang terakhir ini akan diganti oleh televisi. Sebagai contoh, penonton televisi yang muda-muda akan mengurangi menonton bioskop, dan akan menonton film di layar televisi.
Asas kedua ialah kegiatan yang diubah (transformed activity). Ini menyatakian bahwa, jika televisi tidak memuaskan suatu kebutuhan, is akan dipuaskan oleh sarana kegiatan lain. Sebagai misal, jenis-jenis tertentu acara radio atau bahan bacaan yang berat tidak akan diambil alih oleh acara televisi. Dengan lain perkataan, kegiatan yang fungsional berbeda, tidak dipengaruhi buruk oleh perilaku televisi.
Asas yang ketiga adalah kegiatan yang marjinal. Berdasarkan asas ini, kegiatan yang terorganisasi akan lebih buruk dipengaruhinya.
Sering kali yang dikhawatirkan oleh masyarakat mana pun ialah pengaruh buruk dari televisi terhadap anak-anak. Namun sejauh penelitian yang dilakukan selama ini di Indonesia, pengaruh televisi tidak begitu mengkhawatirkan, setidak-tidaknya terhadap anak-anak. Fakultas Publisistik Unpad pada tahun 1975 telah mengadakan penelitian terhadap anak-anak sekolah dasar di Bandung. Hasilnya antara lain menunjukkan bahwa, berdasarkan angka rapor, naik 23,5%, tetap 63,4% dan turun 13,1%.
Dalam pada itu pada tahun yang sama Fakultas Sosial Politik Unhas juga mengadakan penelitian yang sama terhadap anak-anak SD di Ujungpandang dan Pangkep. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa nilai rapor anak-anak yang diteliti meningkat 24,3%, tetap 41,9%, dan menurun 24%.
Kedua penelitian itu menunjukkan bahwa pengaruh negatif terhadap kegiatan belajar anak-anak SD setidak-tidaknya pada tahun ini, tidak begitu mengkhawatirkan.
2. Pengaruh Tevisi terhadap sistem komunikasi
Kalau kita berbicara mengenai pengaruh televisi terhadap sistem komunikasi, dan menjawab pertanyaan Dr. Jack Lyle, "apa yang di-displace di Indonesia", maka jawabannya adalah antara lain radio dan surat kabar. Antara bulan Juni 1977 dan Maret 1978, Unhas mengadakan penelitian mengenai arus informasi ke wilayah pedesaan di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian tersebut di antaranya bahwa, mengenai pengetahuan tentang kejadian-kejadian di luar negeri dan di kalangan pemerintah, hampir seluruhnya diperoleh pertama kali dari TV (yaitu 97%). Di mana terdapat TV, maka di situ perhatian kepada radio dan surat kabar boleti dikatakan "terkubur sama sekali". Akan tetapi suatu kenyataan yang tidak menggembirakan, demikian hasil penelitian tersebut, ialah bahwa para penonton yang buta huruf, sekalipun sudah cukup lama berkenalan dengan siaran televisi, tidak berhasil memperoleh literasi visual, sehingga rata-rata (92%) tidak ingat dan tidak mengerti apa yang rnereka tonton.
Meskipun menurut penelitian Unhas itu, radio merupakan salah satu media yang diambil alih televisi, masih perlu dipertanyakan apakah situasi seperti itu akan terns demikian. Sebab, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penduduk desa membeli pesawat televisi bukan karena televisi merupakan media komunikasi yang lebih memuaskan daripada radio, melainkan sebagai simbol status social, sebagai akibat dari demonstration effects. Mungkin apa yang terjadi di desa-desa yang diteliti oleh Unhas tack hanya pada ketika itu saja, pada saat demonstration effect menjalar.
Akan bermanfaat kiranya, apabila Unhas mengadakan penelitian lagi sebagai kelanjutan dari penelitian yang telah dilakukan pada tahun 1977-1978 itu, untuk mengetahui sejauh mana displacement effects televisi terhadap media massa lainnya.
3. Strategi komunikasi
Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Tetapi untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan saja, tetapi harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya.
Demikian pula strategi komunikasi merupakan paduan perencanaan komunikasi (communication planning) dengan manajemen komunikasi (management communication) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Strategi komunikasi ini harus mampu menunjukkan bagaimana operasionalnya secara praktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu, bergantung kepada situasi dan kondisi.
Apakah tujuan sentral dari strategi komunikasi itu? R. Wayne Pace, Brent D. Peterson, dan M. Dallas Burnett dalam bukunya, Techniques for Effective Communication, menyatakan bahwa tujuan sentral dari kegiatan komunikasi terdiri dari tiga tujuan utama, yaitu:
— to secure understanding,
— to establish acceptance,
— to motivate action.
Pertama adalah to secure understanding, memastikan bahwa komunikan mengerti pesan yang ia terima. Andaikata ia sudah dapat mengerti dan menerima, maka penerimaannya itu harus dibina (to establish acceptance). Pada akhirnya, kegiatan dimotivasikan (to motivate action).
Strategi komunikasi sudah tentu bersifat makro yang dalam prosesnya berlangsung secara vertikal piramidal.
Para komunikator yang berada di puncak kelembagaan negara, apakah itu pihak eksekutif, legislatif, atau yudikatif, menggunakan media, balk media massa maupun media nirmassa melalui jenjang hierarki menurun ke bawah. Mestinya komunikasi vertikal ini bukan saja berlangsung dari atas ke bawah (downward communication), tetapi juga dari bawah ke atas (upward communication). Kenyataannya memang dari bawah ke atas tidak selancar dari atas ke bawah. Faktor "asal Bapak senang" atau ABS merupakan penghalang (barrier) yang khas dalam sistem komunikasi di masyarakat Indonesia. oleh karena itu, maka pesan komunikasi dari bawah ke atas itu sering kali mencari jalur yang menyimpang, atau menghadap DPR, atau melalui surat pembaca pada berbagai surat kabar.
Landasan dan pedoman komunikasi secara makro dari atas ke bawah atau dari pemerintah pusat kepada rakyat di seluruh Indonesia, tidak bisa lepas dari diktum-diktum yang terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 beserta batang tubuhnya, ketetapan-ketetapan MPR, undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiders, keputusan menteri, serta nilainilai yang berlaku di Indonesia.
Landasan dan pedoman tersebut hanya merupakan huruf-huruf mati dan kata-kata tanpa makna apabila Para penyusunnya sendiri tidak mampu menghayatinya untuk dapat dilaksanakan oleh rakyat dengan penuh keyakinan.
Sudah tentu kesemuanya itu bersifat kenyal dalam arti kata pelaksanaannya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, selaras dengan tata nilai masyarakat setempat.
Penelaahan mengenai berlangsungnya komunikasi vertikal secara makro tidak bisa lepas dari pengkajian terhadap pertautan antara komponen yang satu dengan komponen yang lain dalam proses komunikasi. Mengenai komunikasi itu telah disinggung tadi, tetapi yang lebih lengkap biasanya yang merupakan jawaban terhadap rumusan Harold Lasswell: Who Says What In which Channel To Worn With What Effect. " Jadi komponen-komponen komunikasi itu adalah komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek.
Tetapi formula Harold D. Lasswell ini telah dikritik oleh beberapa ahli
komunikasi, di antaranya oleh Gerhard Maletzke dalam karyanya, "Evaluation of Change through Communication", dengan mengatakan bahwa formula Lasswell tersebut mengabaikan faktor penting, yakni: "tujuan yang hendak dicapai komunikator" (The goals wick the communicator sought to achieve).
Tampaknya perbedaan pendapat antara kedua ahli komunikasi itu tidaklah dasariah; jika Maletzke menginginkan tujuan komunikasi itu dinyatakan secara eksplisit, Lasswell merasa cukup secara implisit saja. Pertanyaan terakhir dari formula Lasswel yang berbunyi "with what effect? sebenarnya sama saja dengan "what are the goals the communication sought to achieve? " jika pernyataan kekurangan dari Maletzke itu diubah menjadi bentuk pertanyaan.
Tetapi, bagaimanapun juga, memang ada baiknya apabila tujuan komunikasi dinyatakan secara tegas sebelum komunikasi dilancarkan. Sebab, ini menyangkut khalayak sasaran (target audience) yang dalam strategi komunikasi secara makro perlu dibagi-bagikan lagi menjadi kelompok sasaran (target groups). Peliknya masalah target audience dan target groups ini disebabkan karena berkai tan dengan aspek-aspek sosiologis, psikologis, dan antropologis, mungkin pula politik dan ekonomis.
Berdasarkan target audience dan target groups ini mungkin pesan yang sama harus berbeda formulasinya. Sebagai misal, kalimat "demi pembangunan manusia seutuhnya" untuk target audience dapat diubah menjadi "agar rakyat hidup senang di dunia dan bahagia di akhirat" bagi target groups. Contoh lain: "untuk kemakmuran rakyat" diformulasikan menjadi "agar kita hidup dengan memiliki rumah sendiri dengan pakaian yang bagus dan tanpa kekurangan beras". Dengan lain perkataan, kata-kata atau kalimat-kalimat yang serba abstrak bagi target audience diubah menjadi yang serba kongkret mengenai kebutuhan dan keinginan pribadi (individual wants and needs).
Dalam hubungan ini, orang yang menyampaikan pesan, yaitu komunikator, ikut menentukan berhasilnya komunikasi. Dalam hubungan ini faktor source credibility komunikator memegang peranan yang sangat penting. Kredibilitas ini adalah suatu istilah yang menunjukkan nilai terpadu dari keahlian dan kelayakan dipercaya (a term denoting the resultant value of expertness and trustworthiness).
Seorang komunikator memiliki keredibilitas disebabkan oleh adanya "etos" pada dirinya, yaitu apayang dikatakan oleh Aristoteles — dan yang hingga kini tetap dijadikan pedoman — adalah good sense, good moral and good character, dan kemudian oleh para cendekiawan modern diformulasikan menjadi itikad baik (good intentions), kelayakan untuk dipercaya (trustworthiness), serta kecakapan atau keahlian (competence or expertness).
Timbul kini pertanyaan, siapakah komunikator yang muncul di layar televisi?
Komunikator pada media massa diklasifikasikan sebagai komunikator kolektif (collective communicator) dan komunikator individual (individual communicator). Demikian pula pada TVRI kita itu. Pembaca berita, penyiar acar melalui televisi, arus balik (feedback) dari khalayak ke TVRI yang diketahuinya dari hasil penelitian, seyogyanya mendapat perhatian yang besar. Memang penelitian memerlukan biaya yang sangat besar, tetapi bagi masyarakat Indonesia yang plural itu penelitian yang intensif dan ekstensif merupakan conditio sine qua non.
C. TINJAUAN TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI SECARA MIKRO HORIZONTAL
Yang dimaksudkan dengan sistem komunikasi secara mikro-horizontal di sini ialah komunikasi sosial antarinsan dalam tingkat status sosial yang hampir sama dan terjadi dalam unit-unit yang relatif kecil.
Jika kita hendak meneropong komunikasi horizontal ini, untuk mudahnya dapat kita bagi berdasarkan ruing lingkupnya menjadi komunikasi daerah perkotaan dan berdasarkan prosesnya menjadi komunikasi antarpersona (interpersonal communication) dan komunikasi kelompok kecil (small group communication), atau sering kali disebut komunikasi kelompok saja (group communication).
1. Komunikasi di daerah perkotaan
Adalah komunikasi yang menghubungkan manusia itu. Tak mungkin manusia bisa hidup sebagai manusia tanpa komunikasi. Semakin banyak manusia berada dalam suatu tempat, semakin banyak jaringan dan jalur komunikasi di tempat itu. Tetapi dibandingkan dengan di daerah pedesaan, di mana pergaulan hidup umumnya merupakan apa yang disebut Gemeinschaft oleh Ferdinand Tonnies, di daerah perkotaan pergaulan hidup dalam Gessellschaft. Ciri pergaulan hidup dalamgesellschaft adalah rasional-tak pribadi-dinamis. Dengan sendirinya demikianlah pula ciri komunikasi di daerah perkotaan.
Komunikasi antarpribadi di daerah perkotaan lebih banyak terjadi di luar rumah daripada di rumah sendiri. Demikian pula komunikasi kelompok. Lebih tinggi kedudukan seseorang, lebih banyak Gesellschaft yang dimasukinya, lebill banyak komunikasi yang dilakukan di luar rumah.
Tetapi, karena daerah perkotaan merupakan tempat di mana penduduknya mudah memperoleh media massa, maka yang dikomunikasikan bukan mengenai pesan yang diperolehnya dari media massa. Sebagai contoh, ketika para pegawai kembali ke kantornya masing-masing setelah menonton pertandingan tinju Mohammad Ali, acara televisi yang merupakan topik internasional itu tidak dipergunjingkan lagi.
Demikian pula banyaknya media massa di daerah perkotaan menyababkan ibu-ibu rumah tangga tidak banyak memperbincangka hal-hal yang terdapat dalam surat kabar, radio, atau televisi, sebab di rumahnya masing-masing terdapat salah satu atau bahkan semua media massa.
Dengan demikian, maka berbeda dengan di desa-desa, komunikasi di daerah perkotaan dalam hubungannya dengan siaran televisi banyak terjadi antara anggota seisi rumah, khususnya antara ibu dan anak. Jadi, ditinjau secara makro vertikal, komunikasi massa melalui media televisi di daerah perkotaan berlangsung dengan model arus satu tahap (one step flow model); ini berbeda dengan di daerah pedesaan, yang berlangsung dengan model arus dua tahap (two step flow) dan model arus multitahap (multistep flow model).
2. Komunikasi di daerah pedesaan
Berbeda dengan di daerah perkotaan, pergaulan hidup di daerah pedesaan lebih merupakan Gemeinschaft daripada Gesellschaft. Pergaulan bersifat tak rasional-pribadi-statis. Demikian pula dengan sendirinya komunikasi yang berlangsung dalam kehidupan seperti itu.
Para ahli komunikasi dan peneliti banyak yang memalingkan perhatiannya ke daerah pedesaan ini, oleh karena manusiaya yang potensial untuk dikerahkan kepada kegiatan pembangunan. Demikian pula di Indonesia.
Sifat orang-orang desa adalah lugu, bersahaja, apa adanya. Keluguannya itu memang mudah diarahkan ke suatu tujuan. Tetapi apakah tujuannya itu benar atau salah, tidak disadarinya. Seratus enam belas juta rakyat Indonesia berada di daerah pedesaan, bisa dibawa ke arah yang konstruktif, dapat pula dibawa ke arah yang destruktif, bergantung kepada siapa yang mengerahkanya dan bagaimana mengerahkannya?
Media massa memang mullah masuk desa, sudah lama, tetapi jumlahnya relatif barn sedikit, dan dimiliki oleh orang-orang tertentu. Inilah yang sering kali dipermasalahkan. Andaikata mayoritas penduduk desa sudah diterpa media massa dalam arti kata mampu berlangganan surat kabar, atau memiliki pesawat radio, atau mempunyai pesawat televisi, maka masalahnya akan lain, atau tidak ada permasalahan jika ditinjau dari kegiatan komunikasi massa.
Kekhawatiran timbul dalam kaitannya dengan peranan para pemuka pendapat (opinion leader). Para ahli komunikasi Indonesia sudah lama menerapkan "model arus dua tahap" (two step flow model) yang telah disinggung di muka, sebagai konsep komunikasi massa yang mula-mula diketengahkan oleh Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet pada tahun 1948. Berdasarkan penelitian para ahli komunikasi itu, gagasan-gagasan seringkali datang dari radio dan surat kabar yang diterima oleh para pemuka pendapat, dan dari mereka ini berlalu menuju penduduk yang kurang giat. Tahap pertama adalah dari sumbernya, yakni komunikator, kepada para pemuka pendapat; tahap kedua dari para pemuka pendapat tadi kepada para pengikutnya, yang juga mencakup penyebaran pengaruh.
Betapa tidak akan dipermasalahkan, oleh karena pemuka pendapat, selain meneruskan informasi yang diterimanya dari media massa kepada lingkungannya, juga bisa mengubah, mengurangi, memperbesar, atau mewarnai pesan-pesan tersebut, sehingga yang dimaksud oleh pemerintah mungkin lath diterimanya oleh rakyat. Komunikasi jadinya tidak lagi
fungsional, melainkan disfungsional; dan kalau itu terjadi, bukan tidak mungkin menjadi burnerang.
Ciri-ciri pemuka pendapat, seperti lebih berpendidikan secara formal, lebih tinggi dalam status sosial, lebih kaya, lebih berdaya inovasi, lebih terterpa media massa, lebih berkemampuan empatik, lebih berpartisipasi sosial, dan lebih berpandangan lugs, menyebabkan is mendapat kepercayaan untuk menjadi tempat bertanya.
Tidak selamanya pemuka pendapat itu pemuka resmi (formal leader). Pemuka resmi diandalkan untuk melakukan kewajiban meneruskan pesan yang diterimanya melalui media massa kepada rakyat di kawasannya secara jujur. Tidak demikian pemuka pendapat yang merupakan pemuka tidak resmi (informal leader) seperti kiai atau dalang yang tidak ada keterikatan struktural atau organisasional untuk bersikap jujur atau bertindak objektif.
Karena itu semakin banyak adanya pemuka pendapat di desa-desa yang dapat diandalkan untuk bersikap jujur dan membantu pemerintah, akan lebih baik. Penggalakkan Kuliah Kerja Nyata (KKN) para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan ABRI Masuk Desa (AMD), akhir-akhir ini merupakan kebijakan pemerintah yang tepat ditinjau dari komunikasi arus dua tahap tersebut. Setidak-tidaknya, para perwira atau bintara dan para mahasiswa akan merupakan pemuka pendapat yang membawa misi tertentu.
Berbeda dengan di daerah perkotaan, di daerah pedesaan terdapat sarana komunikasi yang merupakan lembaga masyarakat, yakni Kelompok Pendengar yang memang sudah memasyarakat di daerah-daerah pedesaan itu, dan juga Kelompok Pirsazvan yang, meskipun bare terdapat di beberapa daerah saja, merupakan sarana yang sangat penting dalam operasi komunikasi. Pentingnya Kelompen dan Kelompir ini ialah dalam hal intensitasnya komunikasi disebabkan oleh berlangsungnya secara timbal balik.
Adalah menarik apa yang dikatakan oleh Prof. Selo Soemardjan bahwa, mengingat masyarakat desa diharapkan menampung beraneka macam pesan komunikasi yang masing-masing harus dianggap tidak kalah pentingnya daripada yang lain, ada baiknya para komunikator dari pihak pemerintah secara periodik bertemu untuk tukar-menukar pengalaman dan saling mengisi pesannya dengan maksud untuk mencegah jangan sampai bermacam-macam pesan itu bertentangan isinya.
Forum Kolempen atau Kelompir yang diadakan secara periodik itu dapat dipergunakan untuk memperbincangkan pesan-pesan lain, selain yang khusus berhubungan dengan Kelompen dan Kelompir tersebut.
Juga forum seperti itu bisa dipergunakan untuk menghilangkan desasdesus yang mungkin dimunculkan di tengah-tengah masyarakat pedesaan oleh yang biasa disebut marginal man, yakni orang yang hilir-mudik ke kota setiap hari, umumnya para pedalgang. Marginal man ini sering kali "sok Pinter", merasa hebat karena membawa berita pertama dari kota, dan diterima oleh orang-orang desa dengan penuh kekaguman.
Komunikasi yang sejak beberapa tahun terakhir ini banyak digalakkan oleh para juru penerang di desa-desa adalah anjang sono, suatu teknik
berkomunikasi yang sangat ampuh karena sifatnya timbal-balik, tatap muka, dan purposive. Adalah ailjang sono yang merupakan teknik komunikasi khas Indonesia yang sifatnya persuasif, mampu mengajak masyarakat pedesaan berpartisipasi dalam pembangunan.
Berbeda dengan di daerah perkotaan, di pedesaan sarana kesenian lebih banyak dipergunakan sebagai media komunikasi. Reog, calung, ketoprak, wayang klit, wayang golek, dan lain-lainnya sudah terbiasa dipergunakan sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Bahwa itu efektif, jelas sudah, karena merupakan media komunikasi yang mengandung faktor-faktor yang menunjang; di antaranya yang bisa membangkitkan perhatian (attention arousing), yaitu hiburannya itu sendiri. Ini sesuai dengan konsep komunikasi yang dinamakan AIDDA, singkatan dari Attention-Interest-Desire-Decision, dan Action atau sering disebut juga A-A procedure, yaitu agar terjadi action pada komunikan, terlebih dahulu dibangkitkan attention.
Timbul kini pertanyaan: Apakah televisi sebagai media massy modern dengan daya tariknya yang begitu kuat itu berpengaruh kepada sistem komunikasi horizontal di pedesaan? Menurut pengamatan sementara, tidak terdapat pengaruh negatif, setidak-tidaknya tak tampak apayang disebut displacement effect terhadap sistem komunikasi.
Meskipun demikian, mengenai hal ini kiranya perlu diadakan penelitian yang saksama.
D. PENUTUP
Sebagai akhir uraian dalam makalah yang sederhana ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sistem komunikasi di Indonesia ditentukan oleh sistem pemerintahan dan sistem masyarakat itu sendiri.
2. Pengelolaan siaran televisi perlu d.iarahkan, di satu pihak untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan, di lain pihak untuk mencegah erosinya nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia.
3. Dalam menentukan strategi komunikasi melalui televisi, yang perlu mendapat perhatian bukan saja prosesnya secara vertikal, tetapi juga secara mikro horizontal.
4. Berdasarkan pengamatan sementara, televisi tidak berpengaruh negatif terhadap sistem komunikasi di Indonesia.
5. Pluralnya sifat masyarakat Indonesia memerlukan penelitian terhadap pengaruh televisi yang lebih intensif dan ekstensif.
DAFTAR PUSTAKA
Aw, Suranto. Komunikasi Perkantoran. Yogyakarta : Media Wacana.
Effendy, Onong Uchjana. 1992. Dinamika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Muis, A. Harian Kompas (Arus Informasi di pedesaan Sulawesi Selatan). 29 April 1978.
Sumarjan, Selo. 1974. Unsur-unsur Sosial Budaya dalam Penerangan KB. Majalah Bina Sejahtera.
Nasiki, Burhanudin. 1976. Harian Kompas ( Lebih Banyak Anak-anak Menonton Televisi di Ujung Pandang)
Televisi adalah gambar yang paling kompleks pada media ruparungu dwimatra dinamis (moving audiovisual media), bahasa rupa inilah yang dianggap paling pesat perkembangannya. Tabrani (1992) melihat bahwa dari segi sejarah memang bahasa rupa lainnya banyak mengacu pada bahasa film dan televisi. Bahasa rupa foto (gambar statis) tumbuh sangat perlahan dan segera terkejar, dilanda oleh bahasa rupa film kemudian muncul televisi (gambar dinamis). Gambar dinamis inilah yang pesat sekali merambah ke seluruh dunia.